Di tengah pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada peserta yang masih penuh dengan permasalahan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sudah memberi sinyal hijau akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Alasannya karena terjadi defisit anggaran di BPJS Kesehatan di tahun pertama beroperasi.
Saat ini memang belum diketahui besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan, karena sedang dikaji untuk menentukan nilainya. Namun, sepertinya rencana tersebut bakal diberlakukan dengan alasan untuk menutupi kekurangan dana yang dialami lembaga nirlaba ini. Sementara itu, badan usaha milik publik ini baru saja menerima suntikan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp5 triliun pada Februari tahun ini. Anggaran Rp5 triliun tersebut akan digunakan untuk menjaga kelancaran pelayanan bagi 135 juta peserta BPJS Kesehatan sebesar Rp3,460 triliun dan cadangan pembiayaan untuk Dana Jaminan Sosial Kesehatan sebesar Rp1,54 triliun.
Data BPJS Kesehatan mencatat defisit pada laporan tahun lalu sebagai berikut, total iuran yang dikantongi mencapai Rp41,06 triliun. Sedangkan, total manfaat dan klaim yang dibayar sebesar Rp42,6 triliun. Rasio klaim mencapai 103,88 persen. Defisit itu disiasati BPJS Kesehatan dengan menggunakan dana cadangan teknis sebesar Rp6 triliun. Pada akhir 2014, sisa dana cadangan Rp2,2 triliun. Dana cadangan ini dialokasikan lagi oleh pemerintah dalam APBN-P 2015 sebesar Rp5 triliun.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan bahwa pihaknya belum dapat menghitung berapa besaran kenaikan iuran tersebut. Menurutnya BPJS Kesehatan akan berkoordinasi dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk menghitung persis angka yang diusulkan ke Presiden RI. Terkait defisit anggaran di BPJS Kesehatan, sejak awal pihaknya sudah menghitung akan terjadi miss match antara iuran masuk dan pengeluaran. Saat itu, penghitungan dilakukan dengan pendekatan riset dan fiskal space, bukan dengan pendekatan aktuaria.
Menurutnya, kalau aktuaria yang dihitung DJSN adalah sebesar Rp27.500, karena fiskal space terbatas jadi ditetapkan Rp19.225. Namun, dari awal pihaknya sudah tahu akan kurang. “Kami menyiapkan dana cadangan teknis Rp6 triliun. Sehingga di akhir tahun masih ada uang sekitar Rp2,2 triliun. Jadi tidak ada defisit, dana jaminan sosial masih ada Rp2,2 triliun. Pada 2015 ini dikhawatirkan terjadi defisit lagi karena iurannya belum sesuai dengan aktuaria. Jadi dianggarkan lagi dana cadangan teknis kemarin dalam bentuk PMN. Pada 2016 tidak ingin main di dana cadangan terus maka diperbaiki struktur iurannya,” jelas Fahmi.
Dukungan kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga datang dari DJSN. Menurut Ketua DJSN Chazali Situmorang, rasio klaim BPJS Kesehatan saat ini sudah di atas 100 persen sehingga lebih besar klaim dibanding iuran yang diperoleh. Idealnya rasio klaim penyelenggaraan jaminan sosial di kisaran 90 persen. “Oleh karena itu, DJSN akan mendukung usulan BPJS Kesehatan untuk menaikkan iuran. Adapun iuran baru untuk peserta PBI (penerima bantuan iuran) yang diusulkan adalah Rp27.500, dari sebelumnya Rp19.225. Sementara itu, iuran peserta non-PBI bertambah Rp10.000 dari setiap kelas yang berlaku. Namun, iuran baru tersebut hanya berlaku untuk peserta baru. Peserta lama tetap membayar dengan jumlah yang sama. Diharapkan, iuran baru ini mulai berlaku 2-3 bulan ke depan. Saat ini, kami masih menunggu perpres-nya terlebih dahulu,” ujarnya.
Selain itu BPJS juga akan merevisi masa aktivasi dari semula tujuh hari, menjadi tiga bulan sejak pendaftaran. Ini tujuannya untuk menghindari lonjakan klaim. Sebab kebiasaan masyarakat mendaftarkan sebagai BPJS sejak dia dalam kondisi sakit dan langsung dipakai untuk klaim asuransi. Tapi selanjutnya tidak lagi membayar iuran bulanan setelah dinyatakan sembuh. Ada juga peserta yang membayar pada bulan pertama, tapi selanjutnya karena ada satu sebab mereka mengemplang, sehingga kondisi ini mengurangi pemasukan BPJS
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Jaminan Kesehatan Watch (JAMKES WATCH), Iswan Abdullah menilai agak aneh dengan rencana pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan bagi PBI dan pekerja bukan penerima upah (PBPU). “Ini aneh dan tidak masuk akal, jelas kami akan menolak kenaikan tarif iuran tersebut,” kata Iswan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.
Iswan pun menilai alasan BPJS Kesehatan yang memprediksi rasio klaim mencapai 98,25 persen dari target total iuran Rp55 triliun pada tahun ini tidak masuk akal. Belum lagi, iuran bagi PBI bakal naik menjadi Rp27.500, dan non-PBI naik hingga Rp60.000. Kenaikan tarif itu tidak benar, pihaknya dengan tegas menolak usulan dari DJSN dan BPJS Kesehatan tersebut.
Data BPJS Kesehatan mencatat defisit pada laporan tahun lalu sebagai berikut, total iuran yang dikantongi mencapai Rp41,06 triliun. Sedangkan, total manfaat dan klaim yang dibayar sebesar Rp42,6 triliun. Rasio klaim mencapai 103,88 persen. Defisit itu disiasati BPJS Kesehatan dengan menggunakan dana cadangan teknis sebesar Rp6 triliun. Pada akhir 2014, sisa dana cadangan Rp2,2 triliun. Dana cadangan ini dialokasikan lagi oleh pemerintah dalam APBN-P 2015 sebesar Rp5 triliun.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan bahwa pihaknya belum dapat menghitung berapa besaran kenaikan iuran tersebut. Menurutnya BPJS Kesehatan akan berkoordinasi dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk menghitung persis angka yang diusulkan ke Presiden RI. Terkait defisit anggaran di BPJS Kesehatan, sejak awal pihaknya sudah menghitung akan terjadi miss match antara iuran masuk dan pengeluaran. Saat itu, penghitungan dilakukan dengan pendekatan riset dan fiskal space, bukan dengan pendekatan aktuaria.
Menurutnya, kalau aktuaria yang dihitung DJSN adalah sebesar Rp27.500, karena fiskal space terbatas jadi ditetapkan Rp19.225. Namun, dari awal pihaknya sudah tahu akan kurang. “Kami menyiapkan dana cadangan teknis Rp6 triliun. Sehingga di akhir tahun masih ada uang sekitar Rp2,2 triliun. Jadi tidak ada defisit, dana jaminan sosial masih ada Rp2,2 triliun. Pada 2015 ini dikhawatirkan terjadi defisit lagi karena iurannya belum sesuai dengan aktuaria. Jadi dianggarkan lagi dana cadangan teknis kemarin dalam bentuk PMN. Pada 2016 tidak ingin main di dana cadangan terus maka diperbaiki struktur iurannya,” jelas Fahmi.
Dukungan kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga datang dari DJSN. Menurut Ketua DJSN Chazali Situmorang, rasio klaim BPJS Kesehatan saat ini sudah di atas 100 persen sehingga lebih besar klaim dibanding iuran yang diperoleh. Idealnya rasio klaim penyelenggaraan jaminan sosial di kisaran 90 persen. “Oleh karena itu, DJSN akan mendukung usulan BPJS Kesehatan untuk menaikkan iuran. Adapun iuran baru untuk peserta PBI (penerima bantuan iuran) yang diusulkan adalah Rp27.500, dari sebelumnya Rp19.225. Sementara itu, iuran peserta non-PBI bertambah Rp10.000 dari setiap kelas yang berlaku. Namun, iuran baru tersebut hanya berlaku untuk peserta baru. Peserta lama tetap membayar dengan jumlah yang sama. Diharapkan, iuran baru ini mulai berlaku 2-3 bulan ke depan. Saat ini, kami masih menunggu perpres-nya terlebih dahulu,” ujarnya.
Selain itu BPJS juga akan merevisi masa aktivasi dari semula tujuh hari, menjadi tiga bulan sejak pendaftaran. Ini tujuannya untuk menghindari lonjakan klaim. Sebab kebiasaan masyarakat mendaftarkan sebagai BPJS sejak dia dalam kondisi sakit dan langsung dipakai untuk klaim asuransi. Tapi selanjutnya tidak lagi membayar iuran bulanan setelah dinyatakan sembuh. Ada juga peserta yang membayar pada bulan pertama, tapi selanjutnya karena ada satu sebab mereka mengemplang, sehingga kondisi ini mengurangi pemasukan BPJS
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Jaminan Kesehatan Watch (JAMKES WATCH), Iswan Abdullah menilai agak aneh dengan rencana pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan bagi PBI dan pekerja bukan penerima upah (PBPU). “Ini aneh dan tidak masuk akal, jelas kami akan menolak kenaikan tarif iuran tersebut,” kata Iswan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.
Iswan pun menilai alasan BPJS Kesehatan yang memprediksi rasio klaim mencapai 98,25 persen dari target total iuran Rp55 triliun pada tahun ini tidak masuk akal. Belum lagi, iuran bagi PBI bakal naik menjadi Rp27.500, dan non-PBI naik hingga Rp60.000. Kenaikan tarif itu tidak benar, pihaknya dengan tegas menolak usulan dari DJSN dan BPJS Kesehatan tersebut.
Perlu Koordinasi
Sementara itu, di tengah carut marutnya BPJS Kesehatan dalam melayani peserta, Rosa Cristiana Ginting, Anggota Dewan Penasehat Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (Pamjaki) menyarankan agar konsep koordinasi manfaat atau coordination of benefits (CoB) antara BPJS Kesehatan dan swasta segera dimatangkan. Koordinasi manfaat ini sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bervariasi mengingat tidak semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh paket yang ditawarkan BPJS Kesehatan. “BPJS Kesehatan berhak menerima premi dan berkewajiban membayar klaim. Sedangkan, perusahaan asuransi yang akan menjadi mitra harus mampu merancang manfaat tambahan yang dibutuhkan dan menetapkan besaran premi yang masuk akal dan sesuai kebutuhan konsumen,” kata Rosa pada seminar tentang penundaan aktivasi pembayaran premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi peserta Asosiasi Pengusaha Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, BPJS Kesehatan sebaiknya menyempurnakan sistem pendaftaran sebelum menambah peserta. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan ialah menambah jumlah fasilitas kesehatan dan meningkatkan kualitas layanan. Dengan mewajibkan pekerja penerima upah ikut menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014, seharusnya pelayanan kesehatan yang disediakan sudah bagus.
Realitanya, masih terjadi kekacauan dalam tataran implementasi di lapangan. Hal itu, misalnya, terlihat dari pendaftaran yang rumit, waktu tunggu pelayanan lama, informasi pelayanan yang tidak tersedia, dan keharusan pasien membayar lagi di luar iuran BPJS Kesehatan. “Sebelum pekerja penerima upah menjadi peserta saja sudah banyak masalah, apalagi nanti ketika pekerja penerima upah yang biasa mendapat jaminan kesehatan cukup baik dari perusahaannya menjadi peserta. Sebenarnya kunci dari persoalan ini adalah koordinasi manfaat. Akan tetapi, pedomannya pun belum jelas sehingga dalam praktik di lapangan masih membingungkan,” ungkapnya.
Menanggapi rencana kenaikan premi BPJS Kesehatan, kepada Media Asuransi Rosa justru mempertanyakan rencana tersebut. “Kenapa naik? Hal itu perlu justifikasi yang tepat,” katanya. “Kalau memang timbulnya masalah pelayanan sebagai akibat dari premi yang tidak cukup, memang solusinya adalah peningkatan premi. Tapi menurut saya belum optimalnya pelayanan adalah akibat multi faktor, mulai dari segi konsepsi, operasional dan monitoring,” tegas mantan Direktur Utama Asuransi Jiwa InHealth Indonesia ini. Widiastuti
Sementara itu, di tengah carut marutnya BPJS Kesehatan dalam melayani peserta, Rosa Cristiana Ginting, Anggota Dewan Penasehat Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (Pamjaki) menyarankan agar konsep koordinasi manfaat atau coordination of benefits (CoB) antara BPJS Kesehatan dan swasta segera dimatangkan. Koordinasi manfaat ini sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bervariasi mengingat tidak semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh paket yang ditawarkan BPJS Kesehatan. “BPJS Kesehatan berhak menerima premi dan berkewajiban membayar klaim. Sedangkan, perusahaan asuransi yang akan menjadi mitra harus mampu merancang manfaat tambahan yang dibutuhkan dan menetapkan besaran premi yang masuk akal dan sesuai kebutuhan konsumen,” kata Rosa pada seminar tentang penundaan aktivasi pembayaran premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bagi peserta Asosiasi Pengusaha Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, BPJS Kesehatan sebaiknya menyempurnakan sistem pendaftaran sebelum menambah peserta. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan ialah menambah jumlah fasilitas kesehatan dan meningkatkan kualitas layanan. Dengan mewajibkan pekerja penerima upah ikut menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014, seharusnya pelayanan kesehatan yang disediakan sudah bagus.
Realitanya, masih terjadi kekacauan dalam tataran implementasi di lapangan. Hal itu, misalnya, terlihat dari pendaftaran yang rumit, waktu tunggu pelayanan lama, informasi pelayanan yang tidak tersedia, dan keharusan pasien membayar lagi di luar iuran BPJS Kesehatan. “Sebelum pekerja penerima upah menjadi peserta saja sudah banyak masalah, apalagi nanti ketika pekerja penerima upah yang biasa mendapat jaminan kesehatan cukup baik dari perusahaannya menjadi peserta. Sebenarnya kunci dari persoalan ini adalah koordinasi manfaat. Akan tetapi, pedomannya pun belum jelas sehingga dalam praktik di lapangan masih membingungkan,” ungkapnya.
Menanggapi rencana kenaikan premi BPJS Kesehatan, kepada Media Asuransi Rosa justru mempertanyakan rencana tersebut. “Kenapa naik? Hal itu perlu justifikasi yang tepat,” katanya. “Kalau memang timbulnya masalah pelayanan sebagai akibat dari premi yang tidak cukup, memang solusinya adalah peningkatan premi. Tapi menurut saya belum optimalnya pelayanan adalah akibat multi faktor, mulai dari segi konsepsi, operasional dan monitoring,” tegas mantan Direktur Utama Asuransi Jiwa InHealth Indonesia ini. Widiastuti
Sumber: mediasuransinews.com
0 komentar:
Posting Komentar